Dialog dalam Keberagaman: Sebuah Sikap dari Kekristenan
Pengakuan akan keberagaman dan keberadaan agama-agama lain dalam PPA GKJ membuat kita berpikir lebih lanjut tentang hal konkrit yang dapat dilakukan untuk merealisasikan konsep ini. Salah satu ide yang kemudian banyak dikembangkan oleh pemikir-pemikir Kristen yang patut kita pertimbangkan adalah dengan “berdialog”. Dialog dapat diartikan secara sederhana sebagai sebuah percakapan. Namun sebenarnya ada makna lebih dalam dari kata tersebut. Dialog mengisyaratkan sebuah percakapan antara dua pihak atau lebih yang setara, percakapan itu adalah percakapan yang adil dalam arti setiap pihak punya kesempatan yang sama untuk didengar dan mendengar. Bersyukurlah bila di masa kini kita menganggap bahwa konsep tersebut begitu sederhana dan mudah dilakukan, namun ada masanya ketika agama-agama lebih ingin didengar daripada mendengar rekan mereka dari agama yang berbeda.
Dialog bukan hanya mendengar tetapi mencoba untuk memahami tentang mereka yang dianggap berbeda. Agama merupaka kekuatan besar yang dapat mengubah dunia menjadi lebih baik. Namun seringkali kecurigaan antar satu agama dengan agama lainnya pada akhirnya membuat potensi tersebut tidak dapat terealisasikan dengan baik. PPA GKJ mengajak umat untuk mengembangkan sikap dasar dalam mengembangkan dialog dengan penganut agama lain yakni (1) Sifat manusia sebagai makhluk sosial yang menyebabkan manusia senantiasa hidup bersama, (2) Kebebasan setiap orang untuk menentukan agama yang hendak dianutnya. Dari dua dasar itulah orang percaya membuka diri untuk melakukan dialog dan kerjasama dengan agama lain.
Mengembangkan dialog atau percakapan dengan penganut agama lain sejatinya merupakan hal wajar yang membuday di republik ini. Namun beberapa waktu belakangan fundamentalisme seringkali semakin menguat menyebabkan orang semakin ‘alergi’ untuk berelasi dengan penganut agama lain. Kembangkanlah dialog karena dari sana akan muncul kerjasama dan persahabatan antar umat manusia.