Teologi dan Lingkungan Hidup (2)
Perhatian manusia terhadap kondisi lingkungan hidup (ekologi) merupakan hal yang tergolong baru. Baru pada abad 20 muncul ahli biologi dan ekologi yang memperingatkan dunia akan lingkungan hidup yang semakin terancam. Salah satu tindakan penyadaran tersebut misalnya datang pada tahun 1962, Rachel Carson, seorang biolog, aktivis lingkungan, memperingatkan dunia akan kerusakan lingkungan akibat banyaknya gas beracun yang dihasilkan pabrik-pabrik legal. Seruan-seruan penyadaran mengenai rusaknya lingkungan terus berdatangan dan menariknya muncul pihak-pihak yang berupaya mengaitkan antara kerusakan lingkungan dan teologi Kristen.
Lynn White Jr., seorang sejarawan, menuding kekristenan sebagai penyebab dari krisis lingkungan. Tudingan tersebut dimuat dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan pada sebuah majalan ilmiah, Science. White menuding bahwa kekristenan adalah “the most anthropocentric religion” atau agama yang paling bersifat antroposentris. Antroposentris artinya seluruh pengajaran, kewajiban moral, perintah-perintah keagamaan segala sesuatunya hanya berpusat kepada manusia semata. Tidak ada kepedulian atau seruan kewajiban moral terhadap alam semesta. Akibat timbullah kecenderungan untuk mendominasi alam semesta.
Arnold Toynbee, seorang filsuf dan sejarawan asal Inggris mengungkapkan hal yang senada dengan White. Ia menyoroti Kejadian 1:28 dan beraga tafsiran atas ayat tersebut yang seolah-olah memberikan pembenaran bagi manusia untuk mendominasi serta mengeksploitasi alam. Menghadapi tuduhan tersebut, lantas apakah sikap kekristenan? Sebagian teolog menjadikan kritik tersebut sebagai alat untuk berfleksi serta mengembangkan teologi yang lebih mempedulikan lingkungan hidup. Sisanya tidak begitu saja menerima dan bahkan turut mengungkapkan bahwa sejatinya rasionalisme/pencerahanlah yang menyebabkan kerusakan alam terjadi seperti dikemukakan oleh R.P. Borrong seorang Pendeta dan Teolog asal Indonesia. Rasionalisme menjadikan rasio sebagai satu-satunya ukuran dan menempatkan hal diluar itu sebagai objek, termasuk lingkungan hidup.
Terlepas dari perdebatan siapa sesungguhnya yang salah, respon yang tepat untuk menanggulangi kerusakan lingkungan harus segera diberikan. Agama wajib untuk menyediakan pendasaran moral dan spiritualitas bagi upaya tersebut. Sementara ilmu pengetahuan akan berurusan dengan hal-hal teknis terkait penanggulangan kerusakan lingkungan. Kerjasama antar umat manusia sekali lagi harus diperkuat.