“Takut akan Allah.”
“Tetapi para bupati yang sebelumnya, yang mendahului aku, sangat memberatkan beban rakyat. Bupati-bupati itu mengambil dari mereka empat puluh syikal perak sehari untuk bahan makanan dan anggur. Bahkan anak buah mereka merajalela atas rakyat. Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Allah.”
Nehemia 5:15 (baca juga Nehemia 5:15-19)
Terpilih menjadi seorang pemimpin tidak selalu menjadikan seseorang berani memimpin dalam kebenaran. Alasannya, bisa jadi takut terhadap pejabat yang lebih tinggi, takut merugi atau takut kehilangan jabatan. Terhadap aturan yang sudah telanjur menjadi budaya misalnya, orang lebih memilih untuk mengatakan: “Wah, sudah sejak lama tradisinya seperti itu, rasanya sulit untuk mengubahnya. Saya hanya melanjutkan saja!” Terlebih jika aturan itu memberi keuntungan secara pribadi.
Tidak demikian yang dilakukan Nehemia saat menjabat sebagai bupati di tanah Yehuda. Nehemia tidak memperlakukan rakyat seperti yang dilakukan oleh para bupati sebelumnya. Bupati-bupati sebelum Nehemia memaksa setiap orang membayar 40 syikal perak per hari. Pejabat di bawah bupati itu juga berkuasa atas rakyat sehingga mempersulit hidup mereka. Namun Nehemia tidak memakai kekuasaannya untuk mengambil keuntungan dari rakyat. Meski harus menjamu setidaknya 150 orang setiap harinya, Nehemia rela merugi. Semua itu dilakukannya karena ia menghormati Allah.
Tidak hanya berlaku bagi para pemimpin seperti Nehemia, rasa takut kepada Allah juga harus hidup dalam diri orang percaya. Menaruh hormat kepada Allah memampukan orang percaya mendobrak tradisi dosa meski menurut dunia dipandang sebagai sebuah kerugian. Setia menyatakan kasih meski harus banyak berkorban. Rela melepaskan pengampunan meski berulang kali disakiti. Bahkan menganggap kematian sebagai keuntungan.
Selamat menjalani hari. ^-^