Appreciative Inquiry (AI), Sebagai Perspektif Pembangunan Jemaat (2)
Ada empat tahap di dalam menggunakan AI sebagai perspektif pembangunan jemaat yakni discovery, dream, design, dan destiny.
Tahap discovery, merupakan tahap untuk mengidentifikasi, menemukan, kemudian mengapresiasi hal-hal terbaik yang ada dalam organisasi.
Tahap dream, tahap membayangkan/memimpikan hal-hal yang bisa dilakukan di masa depan dengan berpijak dari hal-hal positif yang telah ditemukan dalam tahap Discovery.
Tahap design, mengajak semua pihak dalam organisasi untuk merancang arsitektur organisasional. Melalui dialog, semua pihak dilibatkan untuk membangun komitmen menuju masa depan bersama yang telah dimimpikan melalui tahap Dream tadi berdasarkan hal-hal positif dari organisasi yang telah ditemukan pada tahap Discovery.
Tahap destiny, tahap di mana semua pihak membangun dan menciptakan masa depan bersama seperti yang seharusnya (sesuai dengan yang dimimpikan). Dengan demikian organisasi senantiasa dipandang memiliki potensi untuk menjadi baik. Yang perlu dilakukan adalah, bagaimana mengapresiasi hal ini kemudian menjadikannya sebagai modal untuk semakin maju dan berkembang.
AI ini sebagai sebuah dasar teori untuk melakukan teologi praktis (pembangunan jemaat). Langkah-langkah teologi praktis yang diperkenalkan oleh J. B. Banawiratma mengikuti 4 tahapan AI yang telah dikemukakan di atas. Karena AI digunakan untuk melakukan teologi praktis, maka ia kemudian menambahkan dasar teologis untuk metode teologi praktis tersebut. Dasar teologis tersebut berpusat pada eksistensi manusia sebagai gambar Allah, yang secara hakiki memiliki potensi yang baik dan mampu menciptakan sesuatu yang baik pula. Ia kemudian juga menekankan pentingnya manusia untuk menempuh jalan spiritual creationspirituality, sebagai sebuah alternatif lain dari jalan spiritualitas fall/redemption, yang terlalu menekankan keberdosaan dan keburukan manusia. Menurutnya, sama dengan semangat yang diusung oleh teori AI, bahwa ketika manusia terlalu menekankan keberdosaan yang berkepanjangan dan berlebihan, maka gerak progresif manusia untuk menata kehidupan ini menjadi kurang bergairah dan menjadi kurang berpengharapan, karena manusia lebih dipandang sebagai sebuah eksistensi yang buruk dan tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik, karena keberdosaannya tersebut.