Bersandar pada Kebaikan Tuhan
Kis. 16:9-15, Maz. 67, Wahyu 21:10, 22-22:5, Yoh. 14:23-29
Orang yang bersandar adalah orang yang menyadari dirinya lemah. Ia akan mencari sandaran yang diyakini memiliki kekuatan lebih daripadanya. Ini perlu, agar sandaran itu mampu menopang dirinya dan menghindarkannya dari celaka. Tema kita mengajak untuk masuk dalam perenungan bahwa Tuhan-lah yang layak untuk dijadikan tempat bersandar bagi kita. Kebaikan Tuhan-lah yang menjadikan kita patut bersandar pada-Nya. Bukan kepada kekuatan dan pengertian diri sendiri. Sifat dan sikap yang senantiasa mau belajar sangat diperlukan. Sebagaimana Paulus pun bersedia untuk menanggalkan pengertiannya sendiri. Semula ia termasuk dalam golongan yang sangat fanatik terhadap agama Yahudi. Ia termasuk salah satu orang yang sangat antipati pada para pengikut Kristus. Namun ia mau ditegur oleh Tuhan. Ia mau belajar bahwa rahmat Tuhan juga disediakan bagi orang bukan Yahudi. Apakah hal ini mudah? Tidak juga! Ia pun harus berhadapan dengan orang-orang yang membencinya karena membiarkan orang-orang di luar Yahudi mendapatkan berkat yang sama dengan orang Yahudi. Tindakan Paulus mengancam status quo orang-orang Yahudi. Maka tidak heran ia dimusuhi banyak orang.
Paulus bersandar pada pihak yang tepat. Ia memberi diri untuk dituntun Roh Kudus dalam melaksanakan misinya, menyeberang hingga Eropa untuk mewartakan kabar keselamatan. Paulus tidak mengandalkan pengertiannya sendiri, namun bersedia menaruh pengertiannya pada Firman Tuhan untuk mengedepankan kasih kepada sesama. Mengasihi bukan sekedar tanggung jawab. Sebab, mengasihi adalah tanda, identitas murid Kristus.