JEMBATAN KOMUNIKASI
Berbicara kepada orang lain memerlukan sedikitnya 3 hal pokok. Apa yang mau kita sampaikan, kepada siapa, dan bagaimana menyampaikan. Pengalaman dan budaya seseorang amat mempengaruhi cara pandang dan “bahasa seseorang”. Sesuatu yang asing dan di luar pengalaman seseorang, akan memerlukan “bahasa pengantar” sebagai jembatan, agar seseorang yang berbicara mampu menyesuaikan dengan alam pikiran mereka yang mendengar.
Ada seekor penyu yang bersahabat dengan seekor ikan. Mereka hidup rukun, mencari makan bersama di laut, dan ingin saling mengerti meski berbeda. Suatu hari si penyu naik ke pantai dan berjalan-jalan di pasir bahkan sampai jauh ke darat.
Ia melihat dan mengalami hidup di darat. Ia melihat dan mengerti manusia, alam, tumbuhan, dan binatang yang lain, yang tak dijumpainya di laut dalam air. Ketika ia kembali ke laut, si ikan, sahabatnya, ingin agar ia berceritera tentang pengalamannya di darat. Maka si penyupun bercerita : “Sungguh indah di darat. Di sana kutemui banyak hal yang berbeda. Banyak manusia dan binatang “berjalan” Ketika si penyu berkata “berjalan”, sahabatnya itu tak mengerti, karena hal berjalan-jalan adalah di luar pengalamannya. Dalam pengalaman hidupnya ia tidak mengenal apa itu berjalan. Yang ia kenal adalah berenang. Dan si ikanpun, dengan keterbatasannya itu bermaksud “mengoreksi” kata-kata si penyu : “Berenang! Bukan berjalan !” Tapi si penyu menjelaskan : Tidak sahabatku, mereka itu berjalan, bukan berenang”. Mereka menggunakan kakinya untuk pergi kian kemari. Mereka tak punya sirip, Mereka menggerakkan kakinya di atas tanah, bukan meluncur di dalam air….”
Agak sulit menjelaskan ‘berjalan’ kepada seekor ikan yang tidak pernah dan tidak mengenal apa itu ‘berjalan’. Banyak orang tidak dapat mengerti sesuatu yang jauh dan tidak ada dalam pengalaman hidupnya. Mereka bahkan tidak mengenal istilah atau kata tertentu karena memang tidak ada dalam “kamus” pengertiannya.
Bersaksi, atau berkomunikasi punya banyak hambatan. Kalau apa yang diinformasikan adalah hal yang di luar pengalaman atau pemahaman, dan penerima informasi tidak berusaha menambah kemampuannya untuk mengerti, maka penerima hanya akan mengolah informasi sesuai referensi atau pengalamannya sendiri dan gagal menangkap makna. Pemberi informasi harus berusaha membuat jembatan pengertian, tetapi bila penerima tak berkembang, komunikasi akan tetap gagal. Orang tidak dapat mengerti sesuatu yang kita informasikan atau saksikan, kalau mereka memang “kosong pengertian” Kadang-kadang orang tidak mengerti karena memang tak mau mengerti, tapi juga kadang-kadang karena tak mampu mengerti.