BEKERJA
Sebenarnya sejak semula manusia diciptakan agar mendapat karunia untuk boleh berkarya bagi Tuhan dan memuliakan NamaNya. Namun karena dosa, kerja telah berubah dari kegembiraan dan sukacita menjadi jerih payah. Berkat dan karunia, menjadi beban. Oleh sebab itu jika kerja kemudian menjadi begitu berat dan membebani hidup manusia, maka hidup itu sendiri kemudian kehilangan nilainya. Kadang kerja telah menjadikan manusia budak, baik bagi yang menjadi budak dalam status, maupun bagi mereka yang diperbudak dalam bekerja, apapun status mereka.
Dalam kehidupan yang telah diperbaharui, kerja kembali memperoleh tempatnya dan menjadi alat berkat. Kerja dalam keselamatan Kristus telah menjadi isi bagi hidup Kristiani. Sejak semula kekristenan menghukum kemalasan, termasuk kemalasan atas nama agama. Calvyn, seorang tokoh reformasi, bahkan telah mengajar dan mendorong pengikutnya untuk mewujudkan iman Kristen dalam etos kerja yang tekun, bersemangat, jujur, efisien dan berkualitas, sebagai tanda-tanda iman mereka. Melalui ketekunan dan kualitas dalam bekerja, mereka menyaksikan karya dan kegiatan illahi yang berkarya dalam diri mereka.
Dalam penghayatan anugerah, kerja manusia diberi makna baru. Kesungguhan iman seseorang akhirnya dibuktikan dengan kualitas karya atau pekerjaannya (Mat.16:27). Yesus yang bangkit juga menjenguk dan memperbaiki murid-murid yang mengalami krisis iman yang mengakibatkan krisis kerja. Kebangkitan Yesus memperbaharui makna hidup, iman dan kerja orang percaya. “BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga. (Yoh.5:17).
Sayang, hidup di kota besar sering diwarnai oleh kesibukan yang luar biasa. Orang cenderung terjebak dalam kegiatan yang menyita sebagian besar waktu. Salah satu “penyakit’ orang kota yang sibuk adalah ‘gila kerja” atau workholik, yaitu gejala dimana seseorang begitu terikat oleh dorongan untuk terus bekerja sekuat tenaga dan sepanjang waktu, sehingga hampir seluruh waktu dan perhatiannya dipergunakan untuk melayani pekerjaannya, sampai ia menomor duakan atau bahkan melupakan yang lain. Sebaliknya orang yang malas bekerja bahkan dengan alasan agama atau pelayanan sekalipun, ditegur dengan keras oleh Paulus. Orang seperti itu harus dijauhi agar tidak memberi pengaruh buruk bagi jemaat (2 Tes. 3:10-15)
Seorang suami atau istri yang terlalu sibuk, atau sebaliknya yang malas bekerja, sering tidak menyadari bahwa hal itu adalah masalah serius tetapi dianggap tidak berbahaya sampai suatu waktu setelah menjadi khronis, meledak dan “beranda” rumah tangga kita tahu-tahu sudah hancur berantakan. Kita mesti tahu bagaimana hidup sebagai keluarga Allah (I Tim. 3:15).