top of page

Sejarah GKJ (6)


Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa GKJ yang lahir dari pergumulan khas masyarakat di Jawa khususnya Jawa Tengah dapat mematangkan eksistensinya hingga ke Ibukota. Kita melihat dalam edisi sebelumnya bagaimana proses gumul juang jemaat berlatarbelakang jawa di Gereformeerde Kerk Kwitang bertumbuh menjadi GKJ Jakarta. Pada tahun 1969 jemaat GKJ Jakarta ini sudah memiliki tempat ibadah permanen di Rawamangun. Tidak hanya itu saja juga muncul wilayah-wilayah lain sebagai bagian dari strategi pemeliharaan iman. Sudah sejak 1953 di Kebayoran Baru dilayankan kebaktian (cikal bakal GKJ Nehemia), lalu ketika buku peringatan 30 tahun GKJ Jakarta dirilis di tahun 1973 sudah ada beberapa tempat ibadah lainnya yakni: Tanjung Priuk, Pasar Minggu, Grogol, dan Pejompongan dengan masing-masing satu kali ibadah tiap minggunya.


Tempat-tempat ibadah yang beragam di seluruh penjuru Jakarta tersebut adalah cikal bakal dari gereja-gereja kristen Jawa di Jakarta kini. Perkembangan itu dilatarbelakangi semangat jemaat diaspora. Semangat diaspora adalah semangat untuk mengatasi keterpisahan-keterpisahan dari konteks asal demi mewujudkan sebuah persekutuan yang hidup di dalam Kristus. Tanpa semangat tersebut tidaklah mungkin bagi GKJ Jakarta dalam rentang waktu 30 tahun dari tahun 1943-1973 dapat melahirkan berbagai macam strategi-strategi pembinaan iman maupun pemeliharaan wilayah-wilayahnya yang tumbuh begitu pesat.


Salah satu wilayah yang menarik untuk kita bahas adalah Wilayah Pejompongan yang menjadi cikal bakal lahirnya GKJ Joglo. Menurut catatan sejarah wilayah Pejompongan pertamakali mengadakan ibadah sendiri di wilayah pada tanggal 7 Januari 1973 dengan menumpang di Gereja GPIB Anugerah di Jalan Penjernihan.[1] Wilayah Pejompongan pada tahun 1973 tersebut dilayani oleh lima orang Penatua. Kelima Penatua tersebut membagi diri mereka untuk melayani kelompok Karet, Setiabudi, Kuningan, Pejompongan, Slipi, Kebon Jeruk, Tanjung Duren, kedoya, bahkan hingga ke Kebayoran Lama-Rempoa, bahkan seorang penatua ditugasi pula melayani warga yang berdomisili di Kebayoran baru. Selain ibadah rutin setiap minggunya, semenjak tahun 1974 para penatua ini juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan Pemahaman Alkitab (PA) terutama untuk warga yang berdomisili di kelompok Slipi-Kebon Jeruk-Joglo-Meruya. Bahkan kegiatan-kegiatan perayaan gerejawi seperti natal, Paskah, Paduan Suara, Sekolah Minggu, dan lain-lain tidak luput dilaksanakan meski kala itu tempat pelaksanaannya bisa saja berbeda-beda setiap tahunnya.





[1] Maryono, Kerinduan untuk Bergereja dengan Tenang dan Sejahtera, dalam, Bunga Rampai 10 Tahun Kemandirian GKJ Joglo 7 Oktober 1995-7 Oktober 2005, 9

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page