Sejarah GKJ (1)
Bulan Oktober adalah bulan yang spesial untuk jemaat GKJ Joglo. Tepat tanggal 7 Oktober, 25 tahun silam GKJ Jakarta wilayah Joglo didewasakan menjadi GKJ Joglo. Oleh karenanya Binawarga edisi kali ini hingga akhir Oktober nanti kita akan membahas kembali sejarah GKJ sampai dengan kemandiriin GKJ Joglo. Kita akan membatasi pembahasan mulai dari berdirinya Sinode GKJ, tanpa bermaksud mengerdilkan peran para penginjil awam terkhusus Sadrach yang turut mewartakan kabar baik. Perkembangan kekristenan jawa berlangsung cukup baik. Perlahan-lahan namun pasti banyak gereja-gereja yang kemudian berkembang menjadi Gereja mandiri dalam artian memiliki majelis gereja sendiri. Di awal abad 20 saja sudah ada beberapa gereja mandiri antara lain Gereja Purworejo (mandiri tahun 1900), Gereja Glonggong-Kebumen (1911), Gereja Gondokusuman-Yogyakarta (1913), Gereja margoyudan (1916), Gereja Purbolinggo (1919). Gereja-gereja mandiri ini adalah gereja dengan latar belakang teologis maupun kultural yang berbeda, kemudian beberapa dasawarsa setelah mereka mandiri gereja-gereja ini menggabungkan diri dalam ikatan kebersamaan yang dinamakan klasis.
Klasis-klasis yang ada tersebut kemudian memutuskan untuk mengadakan musyawarah bersama dalam sebuah persidangan. Proses persidangan pertama terjadi di Kebumen 16-17 Februari 1931. Persidangan ini sendiri sebenarnya dimotori pula oleh ZGKN sebagai zending yang bertanggung jawab atas penginjilan di Jawa tengah bagian selatan. Adapun persidangan ini diikuti utusan dari lima klasis yakni klasis Surakarta, klasis Yogyakarta, klasis Purworejo, klasis Purbalingga, klasis Kebumen. Dari dokumen yang tersisa, sekiranya tercatat ada 28 gereja gereformeerd maisng-masing mengirim tiga orang utusannya mewakili klasis-klasis itu. Hasil dari sidang pertama ini mencakup tentang tata gereja, pemberlakuan katekismus Heidelberg, pemakaian Masmoer 150 dan Kidung Pasamoewan, pembuatan beberapa pratelan, peceraian, pernikahan guru injil, serta wakil gereja jawa dalam konferensi para pendeta-utusan zending.
Tonggak bersejarah berikutnya ialah penyatuan antara Gereja Kristen di Jawa Tengah Utara dan Gereja-gereja Kristen di Jawa Tengah Selatan. Pemikiran mengenai hal ini sendiri telah dimulai semenjak tahun 1948. Asal usul yang melingkupi kehadiran kedua sinode berbeda tersebut terjadi setelah badan zending NGZV memutuskan tidak melayani lagi di Indonesia, kemudian ‘daerah kekuasaan’ NGZV diserahkan kepada ZGKN untuk mengasuh Jawa bagian selatan sementara sebuah Zending jerman bekerja sama dengan gereja di Utrecht (koalisi ini dinamakan salatiga Zending) menangani pekabaran injil di Jawa bagian utara. Masing-masing tumbuh dalam corak yang berbeda. Peristiwa penyatuan yang bersejarah ini terjadi pada sebuah sidang sinode kesatuan yang terlaksana tanggal 5-6 Juli 1949. Namun tak lama berselang rupanya sebagian dari gereja yang tergabung dalam Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) memutuskan untuk kembali memisahkan diri dari penyatuan ini.
Di kemudian hari tanggal 17 Februari ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa. Kalau ditelusuri ada yang menarik dari proses penamaan ini, alih-alih memakai kata ‘gereja ‘ dalam bentuk tunggal, sinode memilih ‘gereja’ dalam bentuk jamak. Pemilihan kata ini dapat berarti bahwa sebagai sebuah Sinode, keberadaan gereja-gereja lokal begitu dihargai. Gereja-gereja lokal-lah yang ‘membentuk’ Sinode dan bukan sebaliknya. Maka dapat dimaklumi ada gereja-gereja yang justru usia kemandiriannya lebih tua daripada sinode itu sendiri. Sehingga sampai sekarang corak kemandirian tiap gereja lokal begitu kuat. Sinode menghargai setiap keberagaman yang ada di jemaat setempat.