top of page

IMAN CAMPUR ADUK


Kebiasaan mencampur-aduk atau membiarkan hal-hal yang tak cocok menjadi cocok boleh jadi merupakan kebiasaan masyarakat Jawa. Sebenarnya ini adalah pengaruh budaya India. Di Jawa ada ungkapan: “di othak-athik, mathuk”. Apapun,-yang sebenarnya tidak cocok- bisa dicocok-cocok-kan. Dalam hal makanan juga menunjukkan gejala yang sama : gado-gado, sotomie, tahu campur, karedok, batagor, rujak, pecel, lothek, oblok-oblok, sambel tumpang…dll. Yang dicampur aduk kelihatannya jadi “enak”, meski bagi lidah orang lain “aneh”.


Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang biasanya dimengerti sebagai “beragam, tapi hakekatnya satu”. Sebenarnya muncul pada jaman Majapahit untuk mempersatukan secara politis penganut Hindhu dengan Aliran Ciwa Buddha. Bhinneka tunggal ika, tan hana dhrama mangrwa, artinya: yang berbagai-bagai itu satu, tidak ada dharma (jalan, agama) yang mendua. Arti politis-agamanya : Hindhu atau Ciwa Buddha memang beda, tapi dharma itu hakekatnya satu.


Dalam perumpamaan tentang kirbat, Yesus menuntut agar anggur baru diwadahi dalam kirbat baru, supaya jangan terkoyak dan tumpah. Juga dalam perumpamaan kain lama yang ditambal dengan kain baru, akhirnya juga robek dan tak dapat dipakai. Mengikut Yesus menuntut sikap baru, yang tidak dapat dicampur-aduk atau ditambal-sulam dengan yang lama. Kalau itu dilakukan, keduanya rusak dan robek.


Bukankah itu kelemahan banyak pengikut Kristus, yang tidak dapat meninggalkan yang lama meski sudah menjadi murid Yesus? Prinsip hidup, cara pandang, keyakinan, ajaran lama, atau apa-apa yang tidak selayaknya dipadukan, dicampurkan dengan kemuridan kita sebagai murid Yesus, telah menjadi hambatan atau tarik-menarik sehingga iman kita kepada Yesus terganggu, sering mendua atau bahkan robek dan tumpah.

Ada bahaya bahwa cara kita memandang atau menerima Yesus, sama seperti kita memandang dan menerima “dewa” lama kita. Dalam masa pra-paskah dimana kita menerima seruan pertobatan, mari kita berbenah diri dengan membersihkan diri dari “campuran-campuran” yang tidak seharusnya kita bawa dalam kehidupan baru kita. Secara tidak kita sadari banyak hal mungkin kita alami. Mungkin kita memahami doa seperti memahami mantra. Persembahan seperti sesaji. Alkitab dan ayat-ayatnya dipakai secara magis.


Kebudayaan dan nilai-nilai kesukuan kita di Indonesia punya potensi menjadi lahan yang subur bagi synkretisme seperti itu, meskipun beberapa nilai budaya kita juga dapat memperkaya kehidupan iman kita. Kini saatnya bagi kita untuk secara dewasa, kritis, dan cermat meninggalkan yang lama dan mengenakan yang baru.

Comentarios


Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page