“Menaklukkan” biasanya berarti mengalahkan, membuat orang takluk, dan biasanya juga memiliki konotasi dengan kekuatan yang memaksa atau kekerasan. Namun sebenarnya “menaklukkan” yang lebih efektif dan berhasil adalah dengan kasih, sehingga orang dengan kesadaran dari dalam memutuskan untuk takluk dan berserah. Dengan kekuatan kasih, bukan dengan kekerasan yang memaksa. Orang Jawa punya peribahasa “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasor-ake” (berperang tanpa pasukan tentara, menang tanpa merendahkan).
Menjelang akhir hidupnya, Napoleon, kaisar yang terkenal sebagai seorang penakluk dunia, dibuang dan dipenjara di pulau St. Helena. Di tempat di mana ia tinggal terpencil itu, ada lukisan yang menggambarkan Yesus yang tersalib. Setiap hari ia memandangnya, sampai suatu hari ia sungguh mendalami makna dari lukisan itu. Ia tertegur dan mendapat pelajaran yang amat mendalam mengenai hidupnya yang amat didorong untuk berkuasa.
Kepada para penjaga penjara, ia bersaksi : “Aku, Alexander Agung, serta tokoh-tokoh penakluk dunia dan bangsa-bangsa telah menaklukkan dunia dengan kuasa pedang dan penumpahan darah, namun Orang ini (sambil menunjuk gambar Yesus di kayu salib) menaklukkan dunia dengan kuasa kasih yang lembut dan menumpahkan darahNya sendiri. Aku sangat mengagumiNya.
Penakluk-penakluk dunia memang amat terkenal dengan kehausan berkuasa. Dan mereka pernah memiliki kekuatan dan kekuasaan yang demikian besar. Namun demikian semua dari mereka pada akhirnya menderita oleh karena kecewa dan mengalami kegagalan dan keruntuhan. Mereka diajar oleh sejarah, untuk mengakui betapa mereka teramat kecil dan terbatas. Satu hal yang ironis : mereka dapat menaklukkan dunia, tapi mereka tidak dapat menaklukkan dirinya sendiri.
Ada suatu bahaya yang mengancam orang percaya dalam mengikut Tuhan, menjadi murid Yesus dan melayani, yaitu bahwa kita sering dapat merencanakan, mengerjakan dan menguasai banyak hal. Tapi kita sering amat sulit untuk menyelaraskan sikap dan menaklukkan diri (menyangkal diri). Padahal melayani amat membutuhkan “keperkasaan” serta keteladanan seperti itu, seperti dikatakan oleh Amsal 24 : 5 “Orang yang bijak lebih berwibawa daripada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan lebih dari pada orang yang tegap kuat.”
Kekuatan dan kewibawaan hamba Tuhan berdiri di atas hikmat dan keteladanannya, bukan di atas jabatan formalnya. Mari kita mohon agar Tuhan memberi kita kekuatan kebijaksanaan dan hikmat yang hebat itu.
Comments